Sedekah Telur

 


Sedekah Telur di Jembatan Tabuk

Di sebuah desa terpencil di pedalaman Kalimantan, ada jembatan kecil dari kayu ulin yang membelah sungai keruh dan tenang. Orang-orang menyebutnya Jembatan Tabuk, sesuai nama desa yang letaknya tersembunyi di balik hutan lebat. Jembatan itu bukan sekadar penghubung jalan, tapi saksi bisu dari sesuatu yang tak pernah benar-benar bisa dijelaskan.

Warga Desa Tabuk hidup sederhana, tapi sejak beberapa tahun terakhir, ada satu kebiasaan aneh yang diam-diam diperhatikan oleh anak-anak muda: seorang nenek tua bernama Nyai Salmah, sering terlihat datang ke jembatan itu setiap malam Jumat Kliwon, membawa dua butir telur ayam kampung.

Ia datang sendiri, berjalan tertatih dengan kain lusuh dan topi caping yang menutupi sebagian wajahnya. Ia akan duduk sebentar di ujung jembatan, lalu meletakkan dua butir telur di atas daun pisang kering, berbisik lirih, dan pergi tanpa menoleh.
 
Awalnya orang mengira itu hanya ritual pribadi. Mungkin bentuk sedekah atau kebiasaan lama. Tapi setelah itu, selalu ada satu kejadian yang sama: kabar kematian dari warga desa.

Dan yang membuat merinding, setiap korban meninggal dalam keadaan tak wajar.

Pertama, seorang pemuda ditemukan tewas tergantung di hutan. Lalu, seorang ibu rumah tangga tenggelam di sumur saat mengambil air, padahal sumurnya tak lebih dari satu meter. Ada pula seorang bocah yang mati kejang di depan televisi---padahal listrik sedang padam malam itu.

Setelah tiap kejadian, warga baru sadar, telur di jembatan itu selalu hilang keesokan harinya.

Lama-lama desas-desus menyebar: "Nenek itu sedang memberi tumbal."
Beberapa berani memata-matai, tapi tak satu pun berani mendekat.

Sampai suatu malam, tiga pemuda desa---Bani, Darto, dan Eeng---memutuskan untuk mengikuti Nyai Salmah diam-diam. Mereka bersembunyi di balik pohon bambu dekat jembatan, merekam diam-diam dengan ponsel.

Jam menunjukkan pukul 01.12 dini hari saat Nyai Salmah datang.

Ia duduk seperti biasa. Tapi malam itu, ia tak sendiri.

Dari kegelapan di bawah jembatan, sesuatu merayap perlahan naik. Hitam, tinggi, dan mengerikan. Sosoknya tak sepenuhnya terlihat, tapi suara desah napasnya berat, seperti makhluk yang sudah terlalu lama bersembunyi dari cahaya.

Nyai Salmah berbisik,
"Dua butir, dua nyawa. Jangan lebih, jangan kurang."

Makhluk itu mengambil telurnya... dan menghilang ke dalam air tanpa suara.

Bani mencoba berteriak, tapi mulutnya terkunci. Darto muntah. Eeng pingsan.

Mereka bertiga tidak pernah menceritakan malam itu secara utuh. Tapi keesokan harinya, dua orang meninggal: satu dari serangan jantung, dan satu ditemukan tewas menghitam di rumahnya.

Setelah kejadian itu, Nyai Salmah menghilang. Rumahnya kosong, penuh debu, dan tak ada yang tahu ke mana ia pergi. Tapi yang paling menyeramkan, tradisi sedekah telur itu masih berlanjut.

Setiap malam Jumat Kliwon, dua butir telur ayam kampung tetap muncul di jembatan, tanpa ada yang melihat siapa yang meletakkannya.

Dan setiap kali itu terjadi...
...masih ada yang mati.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tatapan yang Menggoda dari Kamar Sebelah

Pacarku yang Menikmati Sentuhan Lembutku

Friska Pelampias Seks ku