Arwah di Balik Makam Curian

 

Di sudut kota Yogyakarta, ada sebuah makam misterius yang dikenal sebagai "Makam Curian." Orang-orang menyebutnya demikian bukan karena isinya hasil pencurian, melainkan karena yang dimakamkan di sana adalah jiwa-jiwa tanpa nama. Namun, apakah benar mereka telah beristirahat dengan tenang? Atau justru, mereka menunggu untuk didengar?

Malam itu purnama bersinar terang, namun angin dingin menusuk tulang menyapu dedaunan kering di sekitar area pemakaman kecil di pinggiran Yogyakarta. Pemakaman ini jarang dikunjungi oleh siapa pun, kecuali beberapa orang dari dinas sosial atau relawan yang membawa mayat-mayat tanpa identitas. Mereka menyebutnya "Makam Curian," sebuah istilah ironis bagi tempat peristirahatan abadi para korban kecelakaan, pembunuhan, atau gelandangan tanpa KTP.


Di bawah lapisan tanah dangkal -hanya setengah meter- terbaring puluhan tubuh tak dikenal. Dari permukaan, nisan-nisan kasar bertuliskan "Ibu Mr. X" atau "Nona No Name," tertata begitu saja tanpa penghormatan layak. Tapi malam ini, sesuatu terjadi. Angin berhenti tiba-tiba, dan suara bisikan halus mulai mengisi udara.

"Setidaknya kamu masih punya tanah untuk ditiduri," balas suara lain, kali ini milik seorang pria muda yang menjadi korban kecelakaan di tol beberapa bulan lalu. Tubuhnya tidak utuh saat ditemukan; bagian kepala dan kakinya hilang dalam tabrakan maut tersebut. "Aku bahkan tidak bisa merasakan apa-apa lagi. Hanya ingatan tentang darah dan logam penyok."


Suara ketiga menyela, kali ini lebih pelan, hampir seperti desahan panjang. "Kita semua sama saja di sini. Tidak ada yang peduli pada kita waktu kita hidup. Sekarang kita cuma potongan-potongan cerita buruk yang bahkan Tuhan mungkin lupa mencatatnya."


Para arwah mulai bergumam satu sama lain, menyuarakan keluhan mereka. Ada yang protes soal lubang kuburnya yang dangkal, ada yang marah karena tidak ada doa khusus di hari raya, dan ada juga yang hanya diam, membiarkan jeritan hati mereka tenggelam dalam kesunyian.

Namun, di antara semua suara itu, ada satu yang terdengar berbeda. Ia adalah seorang anak kecil, entah berapa usianya, tapi suaranya sangat jernih.


"Tidak adil... aku ingin ibuku," katanya dengan nada getir.


Semua arwah langsung terdiam mendengarnya. Bahkan si pria muda korban kecelakaan tampak tersentuh meski ia sendiri belum pernah memiliki keluarga. Anak kecil itu melanjutkan, "Aku tidak tahu kenapa aku di sini. Aku hanya ingat dingin sekali... dan banyak orang berlarian... lalu gelap."


"Kau pasti salah satu dari mereka," kata wanita tua tadi. "Anak-anak yang dibuang atau diculik, lalu mati tanpa ada yang mencarimu. Kita semua seperti itu, mereka yang dilupakan dunia."

Di luar lingkaran percakapan mereka, ada sesosok bayangan hitam besar yang mulai mendekati makam. Bayangan itu tidak memiliki wujud manusia, melainkan mirip kabut tebal yang berdenyut-denyut seperti bernapas. Ini adalah Dewa Maut, atau setidaknya versi lokal Jawa yang disebut Bathara Kala. Ia datang malam ini karena dilema; para arwah ini membuatnya bingung. Biasanya, roh-roh yang sudah meninggal akan langsung masuk ke alam baka sesuai amal perbuatan mereka. Namun, bagi arwah tanpa nama ini, prosesnya macet.


"Apa yang kalian inginkan?" tanyanya, suaranya bergema seperti petir yang meledak di langit malam.


Wanita tua menjawab cepat, "Keadilan! Kami mati tanpa pengakuan, tanpa upacara, tanpa doa. Apakah dosa kami begitu besar sehingga pantas dilupakan?"

Bathara Kala menggeleng pelan. "Ini bukan urusan surga atau neraka. Ketika seseorang meninggal tanpa rekam jejak, tanpa nama, bahkan tanpa saksi, maka ruh mereka tersesat di antara dunia dan akhirat. Kalian bukan bagian dari mana-mana."


Anak kecil itu menangis, suaranya pecah. "Lalu apa yang harus kami lakukan? Bagaimana cara pulang?"


Dewa Maut terdiam sejenak sebelum berkata, "Satu-satunya harapan kalian adalah jika seseorang di dunia masih mengenali kalian. Seseorang yang mau memanggil nama kalian, memberikan doa, dan mengingat bahwa kalian pernah ada."


Esok paginya, seorang pemuda bernama Raka sedang berjalan di sekitar pemakaman itu. Dia seorang mahasiswa jurusan sastra yang sedang mencari inspirasi untuk novel horor pertamanya. Saat melintasi deretan nisan kasar dengan tulisan-tulisan samar, dia merasa ada sesuatu yang aneh. Udara terasa lebih berat, dan suara-suara bisikan halus terdengar di telinganya.


Raka membungkuk di dekat salah satu nisan bertuliskan "Nona No Name." Tangannya menyentuh batu itu, dan tiba-tiba dia mendengar suara seorang gadis kecil. "Bangunkan aku... tolong bangunkan aku..."

Dia terlonjak mundur, takut. Tapi kemudian, rasa penasarannya mengalahkan ketakutan. Dia mulai meneliti setiap nisan, membaca nama-nama yang tak lengkap, mencoba mengingat-ingat apakah dia pernah mendengar salah satu dari mereka.


Beberapa minggu kemudian, Raka menulis artikel tentang kondisi tragis di Makam Curian. Artikelnya viral, dan banyak orang mulai mendatangi pemakaman itu untuk berdoa. Meskipun tidak semua arwah berhasil menemukan kedamaian, setidaknya ada beberapa yang akhirnya mendapatkan pengakuan.


Namun, di balik semua itu, Dewa Maut kembali ke tempatnya, masih menyimpan daftar panjang nama-nama tanpa tujuan. Dunia mungkin sudah mulai peduli, tapi pekerjaannya belum selesai.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tatapan yang Menggoda dari Kamar Sebelah

Pacarku yang Menikmati Sentuhan Lembutku

Friska Pelampias Seks ku