Demi Harta Nekat Bersekutu dengan Iblis
Beruntung penduduk desa yang sedang siskamling mendenger jerit tangisnya. Mereka pun menghampiri suara jeritan Dasimah. Mereka berlarian menuju suara teriakan berasal.
Pohon-pohon yang tumbang sempat menyulitkan mereka menemukan Dasimah, namun semua itu dapat mereka atasi. Akhirnya Dasimah ditemukan di bawah pohon bambu. Ia terus menjerit ketakutan. “Istighfar Yu !” ucap Sadikin.
Sesampainya di pos kamling Dasimah diam seribu bahasa. Tak ada satu patah kata pun yang keluar dari mulutnya. Ia nampak ketakutan entah apa yang telah menimpanya. Sembari memberikan teh hangat kepada Dasimah, pelan-pelan Sarno memberanikan diri
bertanya tentang kejadian yang menimpanya.
Ia khawatir Dasimah kehilangan akal sehatnya karena sejak tadi ia begitu gelisah. Barang kali sepatah dua patah kata dapat membuat hatinya sedikit lega. “Apakah ada makhluk gaib yang nampak di tanah terkutuk itu?”
Dasimah hanya mengangguk. Ia belum dapat mengeluarkan sepatah dua patah kata.
Degup jantungnya masih berdegup cepat, wajahnya begitu pucat seperti mayat. Mereka pun
tak henti-hentinya merapal doa. Sudah kesekian kalinya orang-orang yang melintasi tanah
terkutuk akan bertemu dengan berbagai makhluk gaib. Dengan kata lain tempat tersebut adalah kerajaan iblis. Sejak Wage menzolimi keponakannya yatim piatu dengan mengambil seluruh harta warisan orang tuanya. Tak lama ia pun jatuh miskin. “Saya melihat kuda yang amat besar” ucap Dasimah penuh ketakutan.
“Itu pasti siluman kuda yang kerap diceritakan orang-orang” ucap Sarno. “Nampaknya benar gosip yang beredar tentang keberadaan siluman kuda, konon Wage merupakan penganut pesugihan jaran penoleh” sahut Sadikin.
Mereka pun mengantarkan Dasimah pulang. Selepas mengantarkan Dasimah mereka
berkeliling desa. Tak jauh dari tempat mereka berdiri nampaklah pekarangan rumah Wage
yang begitu luas. Mereka sengaja mengumpulkan keberanian untuk kembali ke pekarangan rumah Wage. Selangkah demi selangkah mereka memasuki pekarangannya.
“Sepertinya sudah tidak ada siluman itu” ucap Sadikin. “Sepertinya tidak berani menampakkan wujud jika banyak orang”
“Betul juga Man perkataanmu. ayo kita pergi.”
Komentar
Posting Komentar