Petir Menyambar Pohon Asem yang Berumur Ratusan Tahun

 



Nampak seorang lelaki dengan pakaian lusuhnya keluar dari semak belukar. Tubuhnya kekar dengan brewok yang menutupi wajahnya. Sekilas ia nampak seperti lelaki pada umumnya.

Seperti orang yang mengembala kambing, ia sedang mengajak ternak-ternaknya merumput. Orang-orang desa pun tak heran dengan kelakuannya. Sudah bertahun-tahun ia hidup dengan dunianya. Tak ada seorang pun yang berani mendekatinya terlebih kediamannya.

Konon tanah yang ia tempati merupakan tanah terkutuk. Lelaki yang bernama Wage tak lagi hidup layaknya manusia normal. Jika Magrib tiba tak ada seorang pun yang berani melewati pekarangan rumahnya yang menjadi satu-satunya akses menuju pusat kota.

“Jangan ke sana ada Wage!” teriak Yu Karti. “Ayo Din kita ke lapangan saja.”

Anak-anak pun berlairan menjauhi Wage begitu juga dengan penduduk desa. Mereka lebih memilih menjauh ketimbang tertimpa bencana.

Tak banyak warga yang berani berbincang dengan Wage. Mereka takut menjadi tumbal pesugihan. Tidaklah mungkin ia hidup sebatang kara dengan harta berlimpah ruah. Kalau tidak karena pesugihan tentu ia akan menikmati harta kekayaan bersama keluarganya. Istri dan anaknya sudah lama meninggal dan tak ada seorang pun yang tahu perihal kematiannya. Mereka semua meninggal secara tidak wajar. Malam itu Dasimah pulang larut malam, selepas membeli bibit di kota. Tubuhnya basah kuyup, sepanjang perjalanan pulang ia diterpa hujan. Kalau bukan karena terpaksa ia tidak akan melewati pekerangan rumah Wage. Pasalnya hanya ada satu-satunya jalan menuju rumahnya.

Angin kencang mulai menumbangkan pepohonan. Tak lama petir menyambar pohon asem yang sudah berumur ratusan tahun. Dasimah pun begitu panik ia ingin segera tiba di rumahnya.

Akses jalan menuju rumahnya terhalang pohon tumbang. Ia pun mencoba melewati pohon tumbang.

Dasimah terpaksa meninggalkan motornya dan berjalan mencari jalan yang dapat ia lewati. Dengan tubuh basah kuyup dan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya ia berjalan sambil meraba-raba karena malam itu begitu gelap. Terdengar suara ringkihan kuda. Tentu bukan ringkihan kuda pada umumnya. Tak lama suara itu kian mendekat, diikuti derap langkah kuda yang semakin lama semakin cepet berlari ke arahnya. Badannya gemetaran ia hanya bisa menjerit.

“Toloong…Toloong…! Dasimah pun menjerit sekencang-kencangnya. Sadikin yang mendengar jeritannya, semula ragu untuk menghampiri. Pasalnya suara

jerit tangis kerap terdengar namun tak ada seorang pun di sana.

Tapi suara itu berulang kali terdengar di telinga dan terdengar semakin kencang. Rasa penasaran mengalahkan ketakutannya.

“Sepertinya suaranya tidak asing” ucap Sarno. “Ayo segera kita tolong” sahut Sadikin. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tatapan yang Menggoda dari Kamar Sebelah

Pacarku yang Menikmati Sentuhan Lembutku

Friska Pelampias Seks ku